Gerakan mahasiswa di Indonesia merupakan bentuk gerakan yang
unik. Hingga saat ini tidak dijumpai gerakan yang serupa dengan gerakan
mahasiswa/pemuda Indonesia dinegara manapun, termasuk negara tetangga maupun
negara ‘dunia ketiga’. Sejarah indonesia menunjukkan bahwa peran
mahasiswa/pemuda sangat signifikan untuk mengubah paradigma, sistem dan
pengelela negara. Sejak kebangkitan (1928), kemerdekaan (1945), Orde Baru
(1966) dan reformasi (1998) pemudalah yang menjadi penentu momentum perubahan.
Gerakan mahasiswa yang terjadi hingga saat ini di Indonesia,
mirip dengan apa yang telah terjadi di Amerika dan Eropa di tahun 20–50-an.
Yakni di era-era kemerdekaan dan revolusi. Untuk saat ini, energi dan momentum
perubahan tidak lagi berpusat di mahasiswa, namun berpindah ke kaum profesional
(menengah) dan partai politik (oposisi). Dan idealnya hal seperti inilah yang
diharapkan terjadi, negara-negara yang maju dan sistem demokrasinya telah mapan
biasanya telah melaluinya.
Dalam
lintasan sejarahnya, gerakan mahasiswa senantiasa memiliki karakter gerakan
yang sama yakni idealis (normatif), murni dan tanpa pamrih, (sekedar)
pendobrak, penentu momentum perubahan, simbol perlawanan dan didukung rakyat.
Dikatakan idealis
karena apa yang disuarakan mahasiswa adalah nilai kebenaran universal berupa
nilai moral yang diakui bersama kebaikannya oleh seluruh masyarakat, seperti
anti tirani, demokratisasi, berantas KKN dll. Berbeda dengan partai politik
yang sarat dengan kepentingan politik praktis seperti merebut kursi, mengincar
jabatan menteri dan menggulingkan pemerintahan, gerakan mahasiswa murni dari
kepentingan-kepentingan tersebut. Tidak pernah terbersit diagenda gerakan
mahasiswa untuk mengambil alih kepemimpinan atau mendapat jatah kursi di
parlemen. Disinilah letak keikhlasan gerakan mahasiswa.
Pada saat
kondisi negara sedang stagnan dengan otoriterianisme dan pembungkaman terhadap
suara-suara kritis begitu gencar, maka gerakan mahasiswa akan tampil sebagai
pendobrak kebisuan politik. Mereka lebih lantang menyuarakan kritik dan
perlawanan, apalagi ketika kooptasi negara sudah merajalela dan membungkan
partai oposisi, kaum intelektual dan media massa. Pada saat seperti ini,
gerakan mahasiswa akan tanpil terdepan dan menjadi penggerak serta corong
perubahan. Gencarnya seruan-seruan mahasiswa ini semakin lama semakin lantang
terdengar dan muncullah sipati rakyat dengan bentuk dukungan (moral dan
material) serta keterlibatan elemen-elemen masyarakat. Gerakan perlawanan yang
disimbolkan oleh aksi-aksi mahasiswa ini kemudian memuncak dan terciptalah
momentum perubahan itu dengan bentuk pople power, reformasi, revolusi atau
penggulingan rejim.
Setelah
momentum perubahan itu terjadi, gerakan mahasiswa akan kembali ke tempat
semulanya, yakni kampus dan melakukan ‘konsolidasi akademik’. Dan yang
melanjutkan proses perubahan ini adalah orang-orang tua yang sebelumnya menjadi
oposan atau bahkan orang lama yang (pura-pura) bertobat. Para mahasiswa tidak
menikmati proses perubahan, bahkan meninggalkannya dengan begitu ikhlas dan
menyerahkan proses perubahan itu dengan bulat-bulat ke orang lain.
Tapi,
apakah kronologis perubahan seperti ini adalah daur baku yang tak berubah?
Apakah gerakan mahasiswa itu selalu hanya menjadi pendobrak perubahan, dan
proses lanjutannya dilaksanakan pihak lain? Apakah sudah menjadi ‘takdir
historis’ bagi mahasiswa menjadi Zorro yang muncul dikala keributan dan
menghilang saat penjahat sudah dikalahkan? Tidak adakah alternatif lain?
Untuk dapat merekonstruksi format gerakan mahasiswa, adalah
bijak untuk meletakkan kembali gerakan mahasiswa dalam konteks kondisi internal
gerakan mahasiswa dan eksternal kondisi bangsa. Secara eksternal, diyakini
bahwa dalam waktu dekat kondisi perekonomian bangsa tetap berada dalam
keterpurukan, bahkan cenderung lebih parah. Dilihat dari aliran ketergantungan
yang begitu memparadigma di penentu kebijakan ekonomi Indonesia. Hutang,
kelihatannya akan tetap menjadi pilihan favorit sehingga sama sekali tidak
terbangun visi kemandirian. Bahkan secara perlahan namun pasti, proses
menggadaikan negara terus berlangsung. Dengan menjual aset-aset bangsa yang
seharusnya dipelihara negara, maka dapat dipastikan negara Indonesia yang
dulunya kaya tidak akan memiliki apa-apa lagi, bahkan hajat hidup orang banyak
seperti BBM, komunikasi dan listrik akan dikuasai asing. Kita menjadi kuli
bahkan dinegara sendiri.
Sementara dibidang politik akan senantiasa dipenuhi dengan
isu KKN pejabat tinggi negara disemua institusi negara (Eksekutif, Legislatif
dan Yudikatif). Kekuatan orde baru terus melakukan konsolidasi dan memperbanyak
pundi-pundi uang mereka untuk kepentingan pemuli 2004. Sementara UU Pemilu akan
digunakan untuk menjegal lawan-lawan politik dan menjadi alat legitimasi
kekuatan orba. Sehingga kalaupun terjadi pemilu 2004, tetap tidak memberikan
optimisme bahwa reformasi politik akan terjadi. Bahkan ada keyakinan yang cukup
besar bahwa partai orba akan kembali menjadi pemenang pemilu.
Sementara kemandirian politik bangsa ini sudah berada pada
tahap memprihatinkan. Isu terorisme internasional yang digulirkan Amerika telah
membuktikan bahwa pemerintah memang telah terkooptasi dengan agenda-agenda
asing. Bahkan terkesan sudah tidak punya harga diri lagi. Sehingga dengan
demikian bangsa Indonesia saat ini tengah berjalan menuju kehancuran. Tidak ada
jaminan bahwa Indonesia akan berumur panjang, karena desintegrasi akan semakin
kuat dengan semakin lemahnya bangsa. Kondisi seperti ini sudah lebih dari cukup
untuk menjadi alasan bagi gerakan mahasiswa untuk kembali menggiatkan
seruan-seruan perubahan, tidak boleh lagi untuk tinggal diam dan harus segera
menyelesaikan ‘konsolidasi akademis’.
Sayangnya, kondisi bangsa yang begitu genting tidak juga
serta merta membangkitkan heroisme perjuangan mahasiswa. Hal ini tentunya
karena mahasiswa sendiri menhadapi persoalan internal yang juga semakin pelik.
Kelelahan spikologis mahasiswa ketika reformasi tampaknya belum hilang,
ditambah pula mahasiswa menjadi sangat sibuk dengan ritual kampus seperti
kuliah, praktikum, KP dan lain-lain. Sementara dead line studi saat ini semakin
mepet. Faktor ekonomi juga ikut memaksa mahasiswa untuk meninggalkan dunia
kampus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sementara itu, pemuda Indonesia
setiap harinya dihujani gaya hidup yang pragmatisme dan hedonis yang melenakan.
Sehingga semakin sulitlah gerakan mahasiswa memperoleh dukungan justru dari
mahasiswa itu sendiri. Sementara mata kuliah yang diajarkan tidak secara
langsung menyadarkan mahasiswa akan kondisi sosial-politik disekitarnya.
Hingga saat ini cukup banyak yang menganggap bahwa gerakan
mahasiswa adalah gerakan moral an sich. Karena seruan yang dikemukakan selalu
berlandaskan pada nilai-nilai moral universal seperti anti KKN, demokratisasi
dll. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa juga sampai pada
seruan-seruan tegas untuk mengganti rejim, atau menggulingkan kekuasaan,
penurunkan presiden atau menolak pencalonan seseorang. Gerakan mahasiswa juga
mengkritik kebijakan pemerintah, menuntuk digantinya kebijakan pemerintah dan
mengusulkan bentuk-bentuk perubahan konstitusi. Maka sebenarnya, apa yang telah
dilakukan oleh gerakan mahasiswa juga adalah gerakan politik. Karena politik
sesungguhnya bukan monopoli partai politik semata. Politik tidak bisa dicakup
hanya dengan mengelola negara/pemerintahan, merebut kekuasaan dan
mempertahankannya. Tapi semua hal yang menyangkut pengaturan untuk kemaslahatan
bersama, itulah politik. Sangat menarik apa yang diungkapkan Hasan Al-Banna;
Politik adalah hal memikirkan
tentang perosaolan internal dan eksternal umat, sisi internal adalah mengurus
persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan
hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi
jika mereka melakukan kebaikan dan dikritik jika mereka melakukan kekeliruan.
Sisi eksternal eksternal politik adalah memelihara kemerdekaan dan kebebasan
bangsa, mengantrkannya mencapai tujuan yang akan menenpatkan kedudukannya ditngah-tengah
bansa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain
dalam urusan-urusannya.
Memang selama ini orde baru berhasil menanamkan stigma buruk
tentang gerakan politik dan partisan, sehingga masyarakat pun trauma dengan
istilah politik. Apalagi dengan strategi floating mass yang diterapkan semakin
menjadikan masyarakat hanya sebagai komoditas politik partai-partai. Sehingga
tidak ada alasan sebenarnya untuk takut dengan gerakan politik dan hanya
bersembunyi dibalik gerakan moral. Gerakan mahasiswa seharusnya tampil secara
utuh. Tidak cuma seruan normatif, tapi sampai pada dataran praksis dengan
tawaran nyata berupa format, draft bahkan personal. Paradigma gerakan mahasiswa
perlu dirubah dengan melibatkan politik sebagai salah satu bentuk gerakannya.
Selanjutnya gerakan mahasiswa dalam menyuarakan perubahan
harus secara utuh pula, tidak berperan hanya sebagai pendobrak, tapi juga
menjadi pengawal dan pengontrol perubahan secara ketat. Bahkan harus pula siap
memimpin perubahan. Gerakan Mahasiswa tidak boleh lagi menyerahkan estafeta
perubahan kepada orang lama, harus dicari orang baru yang memiliki visi
perubahan secara utuh dan tidak pernah terkontaminasi dengan masa lalu yang
buruk.
Selanjutnya, untuk menjamin bahwa gerakan mahasiswa akan
tetap berada pada arah gerakannya harus ditanamkan nilai-nilai ideologis yang
menjadi ruh perjuangan gerakan mahasiswa. Dengan hal ini diharapkan bahwa
gerakan mahasiswa akan tetap memiliki komitmen perjuangan, semangat dan
istiqomah. Tidak mudah terjual dengan kedekatan pada kekuasaan ataupun
fasilitas-fasilitas yang diberikan. Nilai-nilai ideologis juga sangat membantu
dalam menciptakan kader yang militan dan sekaligus menyiapkan kader pemimpin
bangsa yang tetap berada pada komitmen perjuangan. Meskipun demikian gerakan
mahasiswa selayaknya senantiasa melakukan dialog antar sesama elemen gerakan
mahasiswa, sehingga isu yang digulirkan akan cepat membesar dan tidak terkesan
perjuangan elemen tertentu. Aliansi gerakan mahasiswa harus lebih sering dilaksanakan
ketimbang aksi individu institusi, dengan menggunakan prinsip ‘bekerjasama
dalam hal yang disepakati dan toleransi dalam hal-hal yang berbeda’.
Terakhir, agar gerakan mahasiswa tetap mendapat dukungan
dari rakyat. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan mahasiswa harus mampu dikemas
dengan baik sehingga dan menyentuh kepentingan rakyat secara langsung. Kedua,
gerakan mahasiswa harus berinteraksi dengan masyarat, tidak melulu dengan
aktivitas politik elit. Meskipun juga tidak harus terjebak dengan gaya-gaya
LSM. Setidaknya gerakan mahasiswa mampu menjadi penghubung antara masyarakat
dan gerakan-gerakan pemberdayaan masyarakat.
Tawaran
agenda aksi GM
Terlepas dari perbedaan cara pandang terhadap metode terbaik
perubahan bangsa, yakni cara revolusi ataukah reformasi, gerakan mahasiswa
idealnya memiliki grand isyu yang relatif sama. Hal ini akan menjamin wacana
yang disuarakan akan cepat menggema dan bergulir bak bola salju. Agenda
tersebut diantaranya; memberikan penyadaran akan kondisi bangsa kepada rakyat,
melakukan delegitimasi terhadap (pengelola) institusi negara dan melakukan
pengkritisan terhadap kebijakan negara, termasuk delegitimasi terhadap parpol
bermasalah serta melakukan pencegahan atas penjualan aset-aset bangsa. Wallahua’lam